}

iCH lIEBE dICH

iCH lIEBE dICH

iCH lIEBE dICH

Selasa, 10 Juni 2014

Kata Mutiara ISLAM

 

 

 

 

 

 

Kata Mutiara


Al-Imam asy-Syafi'i ra berkata :

"Pilar terbentuknya harga diri itu ada empat :
  • Kemuliaaan Akhlak
  • Kedermawanan
  • Sikap santun
  • Ibadah yang Istiqomah"

Al-Imam asy-Syafi'i ra berkata :

"-jeleknya bekal menuju kealam akhirat adalah permusuhan dengan sesama"

Al-Imam asy-Syafi'i ra berkata :

"Barangsiapa yang menginginkan khusnul khatimah dipenghujung umurnya,maka hendaknya ia berprasangka baik kepada semua manusia"

Al-Imam asy-Syafi'i ra berkata :

"Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang tidak melihat kedudukan dirinya dan manusia yang paling banyak kelebihan adalah mereka yang tidak melihat kelebihan dirinya"

Al-Imam asy-Syafi'i ra berkata :

"Barangsiapa yang tidak dimuliakan karena ketakwaannya, maka ia idak memiliki harga diri"

Al-Imam Al-Habib Abdullah al-Aydrus al-Akbar ra berkata :

"Janganlah engkau abaikan sedekah pada setiap hari, sekalipun engkau hanya bersedekah sekecil atom"

Al-Imam Al-Habib Abdullah al-Aydrus al-Akbar ra berkata :

"Kebaikan seluruhnya adalah bersumber dari sedikit bicara"

Al-Imam Al-Habib Abdullah al-Aydrus al-Akbar ra berkata :

"Barangsiapa yag menginginkan keridhaan Allah SWT, maka hendaklah ia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena keajaiban dan kelembutan Allah SWT terdapat pada akhir malam"

Al-Imam Al-Habib Abdullah al-Aydrus al-Akbar ra berkata :

"Ciri-ciri orang yang bahagia adalah mendapatkan taufik dalam hidupnya, banyak ilmu dan amal serta baik perangai maupun tingkah lakunya"

Al-Imam asy-Syafi'i ra berkata :

"Barangsiapa yang tidak dimuliakan karena ketakwaannya, maka ia idak memiliki harga diri"

Al-Imam Al-Habib Abdullah al-Aydrus al-Akbar ra berkata :

"yang paling banyak takut kepada Allah SWT adalah orang yang paling banyak bersedih"

Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Atthos :

"Berziarahlah kamu kepada orang-orang sholeh! Karena orang-orang sholeh adalah obat hati"

Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Atthos :

"Sebaik-baiknya teman adalah Al-Qur'an! dan seburuk-buruknya teman adalah syaitan!"

Berkata Al Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir Al Haddad :

"Orang yang sukses adalah orang yang istiqomah di dalam amal baik."

Berkata Al Habib Umar Bin Hud Al Atthos :

"Bos yang wajib di patuhi adalah Allah SWT"

Berkata Al Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid (Tanggul) :

"Kunci kekayaan adalah shodaqoh, dan kunci kemiskinan adalah pelit"

Berkata Al Habib Abdullah Bin Abdull Qadir Bin Ahmad Balfaqih :

"Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu fiqih"

Berkata Al Habib Muhsin Bin Abdullah Al Atthos :

"Semua para wali di angkat karena hatinya yang bersih, tidak sombong, dengki, dan selalu rendah diri"

Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :

" Guru yang paling bertaqwa adalah Nabi Muhammad SAW, dan Rasulullah bersabda : " Aku di didik oleh Tuhanku dengan sebaik-baiknya didikan".

Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :

" Terangi rumahmu dengan lampu, dan terangi hatimu dengan Al-Qur'an".

Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :

" Bermaksiatlah sepuas kamu pasti kamu akan mati, dan beramal sholehlah pasti kamu akan mati ".

Berkata Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Attas :

" Jadikan akalmu, hatimu, ruhmu, jasadmu, karena bila semua terisi dengan namanya berbahagialah kamu ".

Berkata Al Habib Alwi Bin Muhammad Al Haddad :

" Seindah-indahnya tempat di dunia adalah tempat orang-orang yang sholeh, karena mereka bagai bintang-bintang yang bersinar pada tempatnya di petala langit ".

Berkata Al Habib Abdurrahman Bin Ahmad Assegaf (Sayyidil Walid ) :

" Ilmu itu bagai lautan dan tak akan ada yang mengenalnya kecuali merasakannya ".

Berkata Syekh Abu Bakar Bin Salim (Seorang Tokoh Besar di Negri yaman, di Kampung Inat) :

"Janganlah kau tunda-tunda kebaikan sampai esok hari, karena engkau tak tahu apakah umurmu sampai esok hari".

Berkata Sayidina Ali Bin Abu Tholib Ra :

"Bukanlah seorang pemuda yang membanggakan harta dan kedudukan ayahnya, tetapi seorang pemuda yang berkata inilah aku (Beramal Sholeh)".

Berkata Imam Syafi'i :

"Cintailah orang sholeh, karena mereka memiliki kesholehannya, cintailah Nabi Muhammad SAW, karena dia kekasih Allah SWT, dan cintailah Allah SWT, karena dia kecintaan Nabi dan orang Sholeh".

Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :

"Istiqomah didalam agama menjauhkan kesedihan dan ketakutan".

Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :

"Ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan ikhlas, maka ikhlas mendatangkan keridho'an".

Berkata Imam Syafi'i :

"Ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya tak masuk kepada kemaksiatan".

Berkata Al Habib Abdullah Bin Mukshin Al-Attas (Keramat Bogor) :

"Kunci kesuksesan ada tiga, yaitu :
1. Menuntut ilmu dan beramal.
2. Istiqomah dan sabar.
3. Saling menghormati."

Perkataan Ulama

Sesungguhnya cahaya (Rasulullah) itu apabila masuk kedalam hati maka akan membuat tenang dan terbuka

BAB ILMU :

Nabi Sulaiman as diberikan pilihan antara ilmu atau harta atau tahta kerajaan, lalu dia memilih ilmu maka dia mendapatkan semuanya.
Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang beriman dan berilmu yang mana apabila dibutuhkan dia bisa memberi manfaat kepada yang lain dan apabila dia sedang tidak dibutuhkan dia bisa mencukupi dirinya sendiri.
Allah SWT memberikan wahyu kepada Nabi Ibrahim as "Wahai Ibrahim, Aku adalah Zat yang Maha mengetahui yang mencintai setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan".
Orang alim merupakan kepercayaannya Allah SWT dimuka bumi.
Kematiannya suatu suku bangsa lebih ringan dibandingkan kematiannya seorang alim.
Dua golongan dari umatku apabila mereka bergabung maka manusia akan hidup harmonis dan apabila mereka berselisih maka akan rusak kehidupan manusia. Mereka adalah para ulama dan para pemimpin.
Ilmu itu adalah lemari dan kuncinya adalah bertanya maka bertanyalah sesungguhnya dengan sebab bertanya 4 orang ini akan diberi pahala :
1. Orang yg bertanya.
2. Orang alim.
3. Orang yg ikut mendengarkannya.
4. Orang yg mencintai mereka.
Tidak ada yang pantas dikasihani kecuali kedua orang ini, Seseorang yg mencari ilmu tapi tidak paham-paham dan seseorang yang tahu kadarnya ilmu tapi tidak mau mencarinya.

Biografi HABIB ABDULLAH bin JA'AFAR ASSEGAF





 HABIB ABDULLAH bin JA'AFAR ASSEGAF

Abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar…
Tiba di lingkungan pesantren yang asri, perasaannya yang dari semula memang tidak tertarik dengan dunia pesantren tidak juga berubah. Masa-masa di SD dan SMP masih teramat indah tertanam di benaknya. Hobinya terhadap pelajaran Matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam sejak duduk di bangku SD telah melahirkan tekad dalam hatinya untuk meneruskan pendidikan di sekolah-sekolah umum hingga tingkat yang paling tinggi.
“Ente bener mau tinggal di pesantren?” Pertanyaan ringan itu sontak membuyarkan angan-angannya. Namun wibawa dan kharisma penanya yang berada di hadapannya itu membuatnya tidak mampu berpikir jawaban apa yang harus diucapkannya.
“Mau, Bib.”
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib.”
Tiba-tiba sang penanya yang penuh kharisma tadi memanggil salah seorang santri yang masih sangat kecil. Kira-kira ia duduk di bangku SD.
“Masmuk (siapa namamu)?” tanya sang habib  kepada santri kecil itu.
“Ismi Fulan (Namaku Fulan).”
Setiap pertanyaan yang diajukan dijawab oleh santri belia itu dengan bahasa Arab yang fasih dan benar.
Tanpa disadari, pemandangan itu sangat menyentuh bathinnya. Hatinya mulai berkecamuk. Tanpa disadari, hatinya berbisik, “Ya Allah, anak kecil ini bukan habaib, bukan orang Arab, tetapi begitu fasihnya menuturkan ungngkapan-ungkapan percakapan bahasa Arab. Sedangkan aku sendiri, salah seorang dzurriyyah Rasulullah SAW, cucu para kakek yang alim, tidak tahu sama sekali ihwal bahasa Arab.”
Sejak saat itu, hatinya mulai tertarik pada dunia pesantren. Tekadnya untuk menguasai ilmu-ilmu agama, tanpa disadarinya, mulai tumbuh dalam hatinya. Kharisma yang terpancar dari pribadi besar, yang tidak lain adalah Habib Hasan Baharun, pengasuh PP Darul Lughah Waddakwah, Bangil, yang kemudian menjadi guru futuhnya, telah merasuk ke dalam sanubarinya, membuyarkan semua angan dan cita-cita yang selama itu di pendamnya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum.
Siapakah sosok anak muda itu? Tak lain dialah Habib Abdullah bin Ja`far Assegaf.

Harus Tetap Melihat kepada Kakak
Selepas menjamu tim alKisah berbuka puasa di Sekretariat Majelis Nurul Musthofa, Jln. R.M. Kahfi 1 Gg. Manggis, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebelum mengimami shalat Tarawih, Habib Abdullah menuturkan kisah-kisah pengalamannya, dari masa kanak-kanak hingga aktivitasnya terjun di dunia dakwah, kepada alKisah.
Habib Abdullah, atau lengkapnya Habib Abdullah bin Ja`far bin Umar bin Ja`far bin Syeckh bin Segaf Assegaf, lahir di Empang Bogor pada hari Senin 8 Juni 1981, bertepatan dengan 5 Sya`ban 1401 H.
Ia adalah putra kedua pasangan Habib Ja`far Assegaf dengan Syarifah Fathmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ia adik kandung Habib Hasan bin Ja`far Assegaf, pengasuh dan pendiri Majelis Nurul Musthofa. Kedua adiknya yang juga kini sudah terjun di dunia dakwah adalah Habib Musthofa dan Habib Qosim.
Sejak kecil Habib Abdullah dididik dengan pendidikan agama yang ketat. Sang ayah, Habib Ja`far, sangat keras dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya, terutama dalam hal menanamkan pengetahuan agama. Tak mengherankan, di samping belajar di madrasah, Habib Abdullah juga belajar ngaji kepada seorang ustadz yang sengaja dipanggil datang ke rumah.
Di usia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah diwajibkan untuk tidak lepas membaca Ratib Al-Attas selepas shalat Maghrib.
Setelah ratiban, selepas shalat Maghrib, ia berangkat ke madrasah sampai jam setengah sembilan malam. Sedangkan di pagi harinya, ia belajar di SDN Empang 2 Bogor. “Waktu itu Abah selalu berpesan, ‘Kamu harus jadi orang alim. Tapi kamu harus tetap melihat kepada kakak kamu (Habib Hasan)’.”
Habib Abdullah menuturkan bahwa abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar. “Abah bilang, insya Allah kakakmu, Hasan, bakal jadi.” Karenanya, sejak kecil, Habib Abdullah selalu disarankan oleh abahnya untuk mengikuti jejak kakaknya, Habib Hasan. Itulah sebabnya, baginya, Habib Hasan bukan sekadar kakak, tetapi juga guru dan pembimbing yang diteladaninya.

Lulus dari SD tahun 1993, Habib Abdullah melanjutkan belajar ke SMPN 10 Cipaku dan lulus tahun 1996.
Setamat dari SMP, ia, yang selama itu selalu meraih peringkat sepuluh besar dan sangat menyukai pelajaran Matematika dan Fisika, tidak memiliki tekad lain kecuali masuk ke sekolah menengah atas favorit. Maka ia pun mendaftarkan diri dan diterima di SMAN 4 Bogor.
Namun ternyata sang ayah tidak mengizinkannya untuk melanjutkan ke sekolah umum, dan bermaksud memasukkannya ke pesantren. Meski demikian Habib Abdullah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikan di sekolah umum, sampai-sampai ayahnya berkata, “Abah masukin kamu SD, SMP, biar bisa baca tulis, biar enggak dibohongin orang. Abah mau kamu mendalami agama. Kalau mau melanjutkan ke sekolah umum, silakan cari duit sendiri.”
“Tapi waktu itu saya tetap keukeuh dengan pendirian untuk masuk ke sekolah umum sampai-sampai Abah ngediemin saya,” kata Habib Abdullah mengenang abahnya, yang wafat tahun 2002.
Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya Habib Abdullah menyerah. “Ya udah deh, Abah, saya nyerah, terserah Abah aja kalau memang mau masukin saya ke pesantren.”
Selama enam bulan itu, Habib Abdullah meniru apa yang dilakukan Habib Hasan. Setiap hari yang dilakukannya hanya pulang-pergi dari rumah ke masjid.
Tidak lama kemudian Habib Abdullah dikirim ke pesantren Habib Nagib di Bekasi.
Namun baru beberapa hari, suasana pesantren, yang sama sekali baru bagi Habib Abdullah, sudah membuatnya tidak kerasan, terlebih lagi sejak awal ia tidak berminat untuk masuk ke pesantren. “Saya pun langsung nelepon Abah, saya sengaja bikin-bikin kisah-kisah yang nggak enak ke Abah…. Pokoknya yang penting waktu itu saya bisa pulang.”
“Sudah bisa baca Maulid belum?”
“Belum, Abah.”
“Nggak bisa. Kalau sudah bisa baca Maulid, kamu baru boleh pulang.”
Mendengar kata-kata sang ayah, akhirnya Habib Abdullah menggunakan waktu sepenuhnya untuk mempelajari Maulid, agar secepatnya bisa pulang. Kurang lebih tiga bulan lamanya, dan Maulid Al-Habsyi pun sudah dikuasainya dengan baik.
Habib Abdullah pun kemudian dijemput pulang kembali ke Empang.
Di pertengahan tahun 2007, Habib Abdullah diantar oleh Habib Hasan menuju Pesantren Darullughah Waddakwah (Dalwa). Di pesantren inilah, setelah bertemu dengan Habib Hasan Baharun, pandangan Habib Abdullah tentang pesantren dan dunianya mulai berubah. Mulai saat itu tekad dan cintanya sepenuhnya untuk pesantren.
“Waktu itu, ketika dites, karena semua materinya kebanyakan bahasa Arab, sedangkan membaca Al-Qur’an saja yang saya bisa, akhirnya saya pun ditempatkan di kelas III Ibtidaiyah Diniyah.” Adapun untuk Mu`adalahnya (sekolah persetaraan)-nya, Habib Abdullah tetap melanjutkan ke tingkat Aliyah hingga tamat dan mendapatkan ijazah.
Tahun 2000 adalah tahun duka bagi Habib Abdullah. Pada tahun itu, sang guru ruhani, Habib Hasan Baharun, dipanggil oleh Allah SWT. Pada tahun itu juga, Habib Abdullah mohon diri kepada Habib Zein bin Hasan Baharun, penerus Habib Hasan, untuk melanjutkan pendidikan Diniyahnya ke Hadhramaut di bawah tanggungan Habib Abdullah Krasak, yang masih termasuk keluarga dari ibunya.
Namun Allah berkehendak lain. Sebelum ia berangkat ke Hadhramaut, Habib Abdullah Krasak sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah SWT.
Sepeninggal Habib Abdullah Krasak, Habib Abdullah meminta pendapat Habib Shodiq Baharun, adik Habib Hasan Baharun, untuk langkah selanjutnya. Atas saran beliau, Habib Abdullah diminta untuk datang ke Darul Musthofa, Batik Keris, Solo, untuk membantu-bantu Habib Sholeh, pengasuh pesantren.
Di Solo, selain membantu di Darul Musthofa, Habib Abdullah juga aktif mendatangi majelis Habib Anis Solo untuk menimba ilmu kepada beliau.
Belum setahun tinggal di Darul Musthofa, Habib Hasan, yang waktu itu sudah memiliki majelis yang besar, meneleponnya untuk kembali ke Jakarta. Habib Hasan memintanya agar aktif membantu di Majelis Nurul Mushthofa. “Karena keinginan Habib Hasan tidak lain hanya agar masyarakat Jabodetabek ini, khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya, mengenal dan mencintai Rasulullah, untuk membatu dan meneruskan apa-apa yang sudah dilakukan oleh para alim ulama, asatidz, kiai, dan habaib, selama ini,” kata Habib Abdullah.
Kini, selain diamanati sebagai ketua Yayasan Nurul Mushthofa, Habib Abdullah juga dipercaya untuk mengasuh Nurul Mushthofa wilayah Ciganjur dan sekitarnya serta mendampingi Habib Hasan di setiap kegiatan gabungan majelis Nurul Mushthofa.
Tahun 2004, Habib Abdullah menikah dengan Syarifah Fathimah binti Umar bin Alwi Al-Haddad dan kini sudah dikaruniai tiga orang putra. “Yang tertua bernama Muhammad, kedua Abdurrahman, dan yang ketiganya masih dalam kandungan.”


“Ganti Namanya dengan Nama Ane”
Sebelum mengakhiri kisahnya, Habib Abdullah menuturkan satu kenangan terindah bersama Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, meskipun ia sendiri belum sempat mengaji kepada beliau.
Ketika putra keduanya lahir, Habib Abdullah memberinya nama “Muhsin”, mengambil dari nama kakeknya, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas. Namun putranya itu lahir dalam kondisi sangat kritis.
Dalam situasi semacam itu, Habib Abdullah hanya pasrah kepada Allah. Ia pun shalat Hajat dan memohon kesembuhan sang putra tercintanya. Tapi hari demi hari kondisi sang putra belum juga menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan.
Melihat situasi seperti itu, Habib Hasan, sang kakak, menyarankan agar Habib Abdullah pergi menemui Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri untuk meminta “air”, karena beliau adalah wali min awliyaillah, wali di antara wali-wali Allah.
Tanpa pikir panjang lagi, Habib Abdullah segera menuju ke kediaman Al-Walid dan mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Nama anak ente siape?”
“Muhsin, Bib.”
“Dari mane nama itu diambil?”
“Ane ambil dari nama kakeknya, Bib. Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas.”
Mendengar nama itu, Al-Walid diam sejenak.
“Emang namanya keberatan, Bib.”
“Ah, enggak. Bagus… bagus….”
Setelah minta air dan didoakan, Habib Abdullah pun segera mohon diri untuk kembali ke rumah sakit.
Namun belum lagi sampai di pintu majelis, tiba-tiba Al-Walid berseru, “Walad, ta`al… (Nak, sini…).”
Dengan wajah terkejut Habib Abdullah segera kembali menghampiri Al-Walid, yang masih duduk di tempat shalatnya.
“Ente mau anak ente sembuh, sehat.”
“Ye, Bib.”
“Ganti namanya dengan nama ane.”
Sontak saja, kata-kata Al-Walid, yang tidak diragukan lagi kewaliannya itu, bagaikan hujan membasahi bumi yang tengah kering kerontang dilanda kemarau panjang.
Tanpa menunda, saat itu juga Habib Abdullah langsung menelepon agar nama “Muhsin” yang diubah menjadi “Abdurrahman”.
“Alhamdulillah, mulai saat itu juga kondisi Abdurrahman berangsur-angsur membaik,” kata Habib Abdullah. “Ini sungguh merupakan keajaiban dari Allah….”

BIOGRAFI HABIB HASAN BIN JA'AFAR ASSEGAF


BIOGRAFI HABIB HASAN BIN JA'AFAR ASSEGAF

Habib Hasan bin Ja’far Assegaf lahir di bogor tahun 1977, di tengah-tengah wilayah para ulama besar termasuk almarhum kakek beliau Al Imam Al Qutub Al Habib Abdullah bin Muhsin Alatas sebagai pemimpin para wali dizamannya. Silsilah beliau menyambung dari ibundanya, yaitu Syarifah Fatmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah Alatas.

1. Silsilah :
Al Habib Hasan bin Ja’far bin Umar bin Ja’far bin Syekh bin Abdullah bin Seggaf bin Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Adurrahman Seggaf bin Ahmad Syarif bin Abdurrahman bin Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Syekhul Kabir Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi Al Ghuyur bin Al Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohibul Mirbath bin Ali Kholi Qosam bin Aliw bin Muhammad bin alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Al Imam Husein Assibit bin Imam Ali KWH bin Fatimah Al Batul Binti Nabi Muhammad SAW

2. Pendidikan
Beliau belajar dengan para habaib dan ulama, diantaranya :
Al Imam Al Hafidz Al Musnid Al Habib Abdullah bin Abdul qadir Bilfaqih dan putera-putera beliau : Habib Abdul qadir bilfaqih, Habib Muhammad bilfaqih, Habib Abdurrahman bilfaqih ( Pondok pesantren Daarul Hadits Al Faqihiyyah, Malang ).
• Syekh Abdullah Abdun, Daruttauhid malang
• Syekh Umar Bafadhol, Surabaya
• Al Imam Al Arif billah Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul qadir Assegaf dan putera-putera beliau diantaranya Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (Yayasan Ats-Tsaqofah Al Islamiyyah ).
• Al Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi (selaku yang mengijazahkan maulid simtudduror).
• Al Habib Abdullah bin Husein syami Alatas dikediaman beliau R.a.
• Al Habib Abubakar bin Hasan Alatas, Martapura.
• KH. Dimyati, Banten.
• KH. Mama Satibi dan putera beliau, Cianjur.
• KH. Buya Yahya, Bandung
• Muallim Sholeh, Bogor.
Dan masih banyak lagi para ulama lainnya.

3. Dakwah Beliau
Dakwah beliau menjunjung tinggi Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Mengajak para pemuda pemudi, orang-orang tua maupun anak kecil berdzikir dan bersholawat yang dimulai dari :
• Kota bogor
• Sukabumi
• Bandung
• Jakarta dan sekitarnya.

4. Tujuan Dakwah
Mengikuti kakek moyang beliau sampai kejunjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan mengajak para muslimin dan muslimat :
• Membaca Al-Qur’an.
• Membaca Ratib Al-Atas dan Ratib Al-Haddad
• Mengenalkan salaf sholihin dengan berziarah kepada para wali Allah ketempat orang-orang sholeh.
• Membesarkan nama Rasulullah dengan pembacaan maulid
Harapan
Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Seorang bersama yang dicintainya “, harapan beliau agar diakui oleh Rasulullah SAW dan datuk-datuknya. Semoga semua ummat Rasulullah SAW mendapat ridho Allah dan syafaat Rasulullah SAW, kelak nanti dihari kiamat masuk surga bersama Nabi Muhammad SAW.
Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Apabila telah tersebar perzinahan, perjudian, permabukan, anak durhaka kepada orang tua, istri durhaka kepada suami dan banyaknya yang makan riba maka masuklah kalian kejalan keluargaku, selamatlah kalian dari malapetaka (Riwayat Abu Daud).
HABIB JINDAN

Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.

Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.

Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.

Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.
Berkah Ulama dan Habaib

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.

Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba’bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.

Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami’at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.

Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.

Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.

Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.

Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.

Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.

Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.
Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Sumber Inspirasi

Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.

Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.

Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”
Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.

Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.

Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.

Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.

Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.

“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan. (alkisah)